Minggu, 03 April 2016

Peluang Memperkuat Upaya Kesehatan Masyarakat Desa

ARTIKEL

Undang-undang Desa: Peluang Memperkuat Upaya Kesehatan Masyarakat Desa 

Semangat Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa adalah mendorong prakarsa, gerakan dan partisipasi masyarakat desa, meningkatkan pelayanan publik untuk mempercepat perwujudan kesejahteraan umum, serta memperkuat masyarakat desa sebagai subjek pembangunan. Lebih lanjut Undang-Undang tersebut mengamanatkan pemberdayaan masyarakat desa sebagai upaya mengembangkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat dengan meningkatkan pengetahuan, sikap, keterampilan, perilaku, kemampuan, kesadaran, serta memanfaatkan sumber daya melalui penetapan kebijakan, program, kegiatan, dan pendampingan yang sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat desa.
kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat desa yang telah dijalankan oleh desa atau mampu dan efektif dijalankan oleh desa atau yang muncul karena perkembangan desa dan prakasa masyarakat desa. Salah satunya adalah melalui inisiasi pembentukan Pos UKM Desa (Pos Upaya Kesehatan Masyarakat Desa) sebagai UKM tingkat pertama. Pos UKM Desa merupakan unit pelayanan pemerintahan desa yang bertugas menggerakkan pembangunan kesehatan desa dengan dukungan pembiayaan dari desa dan supervisi teknis dari puskesmas. Dengan alokasi anggaran yang ‘berlimpah’ nantinya, desa didorong terlibat secara aktif dalam memelihara dan meningkatkan kesehatan penduduknya melalui pemberian kewenangan melaksanakan UKM tingkat pertama. Infrastruktur dan SDM kesehatan berupa poliklinik kesehatan desa (PKD) yang telah ada sebelumnya diperkuat untuk melaksanakan fungsi tersebut. Pos UKM Desa hakekatnya adalah tatanan yang menghimpun berbagai potensi yang telah ada dan telah dijalankan sebagai prakarsa masyarakat desa dalam rangka memelihara dan meningkatkan kesehatan secara mandiri. Kewenangan tersebut telah ada dan telah dijalankan namun belum terlembagakan sehingga seringkali tidak disadari bahkan oleh warga masyarakat desa itu sendiri. 
Kewenangan lokal berskala desa yang diberikan kepada Pos UKM Desa antara lain mencakup kewenangan untuk peningkatan dan pemeliharaan kesehatan ibu dan anak, perbaikan gizi masyarakat, pencegahan dan pengendalian penyakit menular, pencegahan dan pengendalian penyakit tidak menular, penyehatan lingkungan dan sanitasi dasar, pengamatan dan mitigasi bencana, serta promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat sesuai dengan kapasitas lokal. 
Pos UKM Desa juga diberi kewenangan melaksanakan pengamatan (surveilans), pencatatan, dan juga pelaporan secara berjenjang. Dengan adanya revitalisasi poliklinik kesehatan desa (PKD) menjadi Pos UKM Desa, maka secara ketenagaan, keberadaan bidan desa sebagai tenaga kesehatan yang telah ada di desa perlu diperkuat setidaknya dengan penambahan tenaga Perawat Kesehatan Masyarakat. Tenaga-tenaga kesehatan yang diperbantukan oleh Pemerintah Kabupaten inilah yang akan memfasilitasi kelompok-kelompok upaya kesehatan berbasis masyarakat yang ada di desa untuk melaksanakan pelayanan kesehatan masyarakat tingkat pertama. 
Pembiayaan Pos UKM Desa setidaknya berasal dari dua sumber. Untuk belanja modal berasal dari anggaran pendapatan dan belanja desa (APB Desa), APBD Kabupaten, dan juga dapat berasal dari hibah. Sedangkan biaya operasional di luar gaji tenaga kesehatan semaksimal mungkin berasal dari APB Desa. Melalui skenario pembiayaan ini, Pemerintah Kabupaten tidak lepas tangan begitu saja terhadap penyelenggaraan Pos UKM Desa.
 Disamping mendorong kemandirian Pemerintah Desa, Pemerintah Kabupaten mengalokasikan anggaran baik untuk belanja operasional maupun belanja modal Pos UKM Desa sesuai kebutuhan dan kondisi keuangan Daerah. Sharing pembiayaan secara interaktif ini diharapkan semakin mendorong kinerja Pos UKM Desa. Tata hubungan kerja antara Pos UKM Desa dengan puskesmas selaku penyelenggara UKM tingkat pertama kecamatan patut pula mendapatkan perhatian. Kinerja Pos UKM Desa merupakan bagian dari kinerja jaringan UKM desa se- kecamatan dengan puskesmas sebagai koordinatornya. Bisa diibaratkan keberadaan Pos UKM Desa merupakan satelit-satelit UKM tingkat pertama dalam wilayah kerja puskesmas. Untuk itu puskesmas berkewajiban melakukan pembinaan dan supervisi teknis Pos UKM Desa di wilayah kerjanya. Pembentukan Pos UKM Desa seperti yang telah dilakukan Wonosobo tampaknya semakin memberi harapan bagaimana kualitas kesehatan masyarakat bisa ditingkatkan. Undang-Undang Desa memberi ruang dan kesempatan untuk inovasi bagaimana meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. Dan Wonosobo telah memanfaatkan dengan baik peluang tersebut. Jaelan Sulat

Sumber : http://www.kompasiana.com/jaelan_sulat/undang-undang-desa-peluang-memperkuat-upaya-kesehatan-masyarakat-desa_54f38992745513a22b6c788c

ANALISA
Pada Artikel diatas dijelaskan tentang upaya dalam peningkatan kesehatan masyarakat  salah satunya adalah melalui inisiasi pembentukan Pos UKM Desa (Pos Upaya Kesehatan Masyarakat Desa) sebagai UKM tingkat pertama. Pos UKM Desa merupakan unit pelayanan pemerintahan desa yang bertugas menggerakkan pembangunan kesehatan desa dengan dukungan pembiayaan dari desa dan supervisi teknis dari puskesmas. Dengan alokasi anggaran yang ‘berlimpah’ nantinya, desa didorong terlibat secara aktif dalam memelihara dan meningkatkan kesehatan penduduknya melalui pemberian kewenangan melaksanakan UKM tingkat pertama. Infrastruktur dan SDM kesehatan berupa poliklinik kesehatan desa (PKD) yang telah ada sebelumnya diperkuat untuk melaksanakan fungsi tersebut. disini peran PKD sangat penting dalam melaksanakan Pos UKBM, dimana PKD adalah sarana kesehatan yang ada di dekat masyarakat. Yang melayani masyarakat dalam bidang kesehatan, dengan adanya PKD, masyarakat jadi lebih mudah mengobati apabila mengalami sakit.
Upaya kesehatan lingkungan dan upaya pemberantasan penyakit berbasis lingkungan semakin relevan dengan diterapkannya Paradigma Sehat untuk upaya-upaya kesehatan dimasa mendatang, dengan paradigma ini maka pembangunan kesehatan lebih ditekankan pada upaya promotif dan preventif dibanding upaya kuratif dan rehabilitatif. 
Penerapan paradigma sehat yang selaras dengan PKD  dimana ke tiga unsur pelayanan kesehatan yaitu promotif, preventif dan kuratif dilaksanakan secara integratif, PKD diharapkan dapat memperkuat tugas dan fungsi puskesmas sehingga terciptanya keterpaduan kegiatan lintas program dan lintas sektor dalam program pemberantasan penyakit menular dengan memberdayakan masyarakat. 

Dicanangkannya Poliklinik Kesehatan Desa (PKD) sebagai sentra pembangunan kesehatan di desa sekaligus unit pelayanan kesehatan di desa yang merupakan unit pelayanan kesehatan swadaya dari, oleh dan untuk masyarakat dimana pembinaannya menjadi tanggungjawab puskesmas masing-masing wilayah. 
Dengan keberadaan poliklinik kesehatan desa yang menjadi pusat kegiatan pemberian pelayanan kesehatan paripurna yang lebih dekat, relatif lebih murah dengan mutu yang terjamin pada masing masing desa, jika diberdayakan secara baik mengandung peluang yang dapat digunakan untuk mengakselerasi laju pembangunan bidang kesehatan terutama mengenai upaya penurunan angka penyakit berbasis lingkungan di pedesaan melalui pendekataan klinik sanitasi 
Kegiatan luar gedung pada klinik sanitasi yang selama ini dilaksanakan petugas puskesmas dapat dilaksanakan oleh petugas poliklinik kesehatan desa untuk melakukan pengamatan kondisi lingkungan sekitar pasien/klien dengan menggunakan form kunjungan lapangan, dan apabila harus dilakukan perbaikan sarana sanitasi dasar seperti perbaikan rumah sehat (Jendela, ventilasi dan plestirisasi ), sarana air bersih dan MCK dapat langsung di sampaikan pada musyawarah desa untuk dapat dicari penyelesaian permasalahannya dengan menyesuaikan kemampuan atau potensi yang masyarakat desa miliki. Bila diperlukan dapat meminta petugas sanitarian puskesmas untuk membantu memberikan alternatif alternatif pemecahan masalah kesehatan lingkungan yang ada di wilayah desanya. 
Dengan terintegrasinya poliklinik kesehatan desa pada kegiatan klinik sanitasi, dimana dengan kesadaran masyarakat menempatkan kesehatan sebagai masalah prioritas yang utama, hal ini dapat menjadi pendorong tumbuhnya kemandirian masyarakat dalam upaya penurunan penyakit berbasis lingkungan di pedesaan yang akan mendorong tercapapai masyarakat yang sehat.
Berikut ini penjelasan lebih detail tentang PKD atau Poliklinik Kesehatan Desa
Poliklinik Kesehatan Desa

A. Pengertian
Poliklinik Kesehatan Desa (Polkesdes) adalah suatu wujud dari upaya kesehatan  bersumber masyarakat (UKBM) yang dibentuk oleh dan untuk masyarakat atas dasar musyawarah dalam rangka :
1. Meningkatnya Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) masyarakat desa
2. Meningkatnya kewasadaan dan kesiapsiagaan masyarakat desa terhadap penyakit  dan masalah-masalah kesehatan lain.
3. Meningkatnya kemampuan masyarakat desa untuk menolong diri sendiri dalam  bidang kesehatan
4.  Meningkatnya pelayanan kesehatan dasar yang dilaksanakan oleh masyarakat  desa dan tenaga kesehatan
5. Meningkatnya dukungan dan peran aktif berbagai pihak yang bertanggung jawab  terhadap kesehatan masyarakat desa (stakeholders)
Polkesdes memang bertujuan untuk meningkatkan keterjangkaun pelayanan kesehatan oleh masyarakat desa. Oleh karena itu, desa-desa yang didahulukan untuk memiliki Polkesdes adalah:
1. Desa yang tidak memiliki puskesmas/Rumah Sakit
2. Desa yang tidak memiliki puskesmas pembantu (Pustu)
3. Desa yang bukan ibukota kecamatan
4. Desa yang bukan dalam wilayah ibukota kabupaten.
B. Tugas dan Kegiatan Polkesdes
Polkesdes memiliki tugas sebagai pusat pengembangan desa siaga dan sekaligus sebagai sarana pelayanan kesehatan dasar ditingkat desa. Sebagai pusat pengembangan desa siaga, Polkesdes merupakan koordinator bagi UKBM-UKBM yang ada di Desa Siaga.
Pelayanan yang disediakan oleh Polkesdes adalah pelayanan kesehatan dasar, yang meliputi upaya-upaya promotif, preventif, rehabilitatif (perlindungan, pencegahan, pemeliharaan kesehatan) dan kuratif (pengobatan). Pelayanan kuratif dan beberapa pelayanan preventif tertentu dilaksanakan oleh tenaga kesehatan.
Pelayanan kesehatan tersebut secara lebih terinci adalah sebagai berikut:
Upaya Promotif
- Pelatihan kader
- Penyuluhan kesehatan dan gizi
- Perlombaan dibidang kesehatan

Upaya preventif
- Survielans bebasis masyarakat (penyakit, gizi, lingkungan dan perilaku)
- Kesiapsiagaan menghadapi kegawatdaruratan kesehatandan bencana
- Pemeriksaan berkala termasuk pemeriksaan ibu hamil dan balita
- Penjaringan kesehatan
- Imunisasi
- Penyehatan lingkungan
- Pembrantasan nyamuk, jentik dan sarngnya

Upaya Kuratif dan Rehabilitatif
- Pengobatan
- Pertolongan persalinan
- Rujukan kasus ke Puskesmas

Kegiatan tersebut diatas seyogyanya dilaksanakan secara rutin setiap hari dengan melibatkan banyak pihak. Tugas dan tangung jawab masing-masing pihak dalam melaksanakan Polkesdes tersebut adalah sebagai berikut:
C. Kader Kesehatan
1. Melakukan surveilans atau pengamatan penyakit, gizi, kesehatan lingkungan  dan  perilaku masyarakat
2. Memberikan pelayanan kesehatan sesuai kewenangannya, misalnya  memberikan  vitamin A, memberikan tablet zat besi (Fe) dan oralit
3. .Melaksanakan kegiatan penyuluhan kesehatan dan gizi.
4. Mengukur tinggi dan berat badan bayi, balita dan ibu hamil.
5. Melakukan pencatatan di buku catatan pelayanan
6 Mengadakan pemutakhiran data sasaran
7. Melakukan kunjungan tatap muka ke tokoh-tokoh masyarakat, dan  menghadiri  pertemuan rutin kelompok masyarakat atau organisasi  keagamaan.
D.  Petugas Puskesmas
Petugas kesehatan Puskesmas wajib hadir di Polkesdes minimal 1 kali dalam sebulan. Peran petugas Puskesmas antara lain sebagai berikut:
1. Memberikan bimbingan dan pembinaan kader dalam penyelenggaraan  Polkesdes
2.  Menyelenggarakan pelayanan kesehatan sesuai dengan kehadiran wajib petugas puskesmas, pelayanan kesehatan oleh petugas Puskesmas minimal diselenggarakan satu kali sebulan. Namun untuk Polkesdes yang baru dibentuk, fasilitasi petugas Puskesmas diharapkan dapat dilakukan sesuai kebutuhan (pada hari-hari di8mana petugas kesehatan tidak hadir, pelayanan Polkesdes diselenggarakan oleh kader kesehatan sesuai dengan kewenangannya)
3.  Menyelengarakan pelatihan atau penyegaran bagi kader kesehatan
4.  Menganalisis hasil kegiatan Polkesdes, serta menyusun rencana kerja  dan  melaksanakan upaya perbaikan sesuai dengan kebutuhan
5.  Menerima konsultasi/rujukan berbagai kasus kesehatan yang tidak dapat  ditanggulangi oleh pelaksana Polkesdes


6. Membantu pengadaan alat kesehatan dan obat-obatan yang dibutuhkan  Polkesdes
E. Sarana Polkesdes
Kegiatan Polkesdes yang dilaksanakan di dalam gedung, sebaiknya dilakukan dalam ruangan tersendiri. Tempat penyelenggaraan sebaiknya dilengkapi dengan:
1. Ruang pendaftaran
2. Ruang tunggu
3.Ruang pemeriksaan
4. Ruang Petugas
5.Ruang Konsultasi (gizi, sanitasi, dan lain-lain)
6. Ruang Obat
7. Kamar mandi dan WC
F. Pengadaan gedung Polkesdes dapat dilaksanakan dengan alternatif berikut:
1. Memanfaatkan gedung Polindes yang ada (ditingkatkan menjadi Polkesdes)
2. Memanfaatkan gedung lain yang sudah ada
3. Membangun gedung Polkesdes dengan fasilitasi dari pemerintahan
4. Membangun gedung Polkeses dengan swadaya masyarakat
5. Membangun gedung Polkesdes dengan bantuan donatur/sponsor/swasta
Selain ruangan/gedung, Polkesdes juga perlu dilengkapi dengan :
Peralatan
1. Peralatan Medis
2. Disesuaikan dengan jenis pelayanan yang disediakan
3. Peralatan Nonmedis
4. Sarana pencatatan dan lain-lain sesuai kebutuhan
G. Obat-obatan
Jenis dan jumlah obat-obatan yang perlu disediakan di Polkesdes sesuai dengan  petunjuk Kepala Puskesmas setempat

H. Tenaga Polkesdes
Pada dasarnya, Polkesdes dioperasikan oleh tenaga dari masyarakat desa,  yaitu  yang berupa kader-kader PKK dan posyandu, serta tenaga-tenaga  sukarela lainnya (misalnya dari LSM) dengan bimbingan teknis dari tenaga  kesehatan yang ada di desa tersebut atau Puskesmas setempat dan sektor terkait.  Jumlah minimal kader untuk setiap Polkesdes adalah 5 (lima) orang. Jumlah ini  dapat bertambah sesuai dengan kegiatan yang dikembangkan.
Untuk hal-hal teknis tertentu, pelayanan Polkesdes harus dilakukan oleh  tenaga-tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan ini terdiri atas bidan plus (Bidan yang  sudah ditambah ketrampilan dan kewenangannya) tenaga gizi dan sanitarian.  Tidak tertutup kemungkinan, petugas-petugas dari sektor terkait juga membantu  (misal PLKB).


PENCEGAHAN KOMPLIKASI KEHAMILAN PADA IBU HAMIL KE BAYI

A. HIV

Human immunodeficiency virus atau biasa dikenal dengan HIV merupakan retrovirus yang menjangkiti sel-sel sistem kekebalan tubuh manusia (terutama CD4 positive T-sel dan macrophages-komponen-komponen utama sistem kekebalan sel), menghancurkan atau mengganggu fungsinya. Infeksi virus ini megakibatkan terjadinya penurunan sistem kekebalan yang terus menerus, yang akan mengakibatkan defisiensi kekebalan tubuh. AIDS adalah singkatan dari acquired immunodeficiency syndrome dan menggambarkan berbagai gejala dan infeksi yang terkait dengan menurunnya sistem kekebalan tubuh. Sebagian besar orang yang terkena HIV, bila tidak mendapat pengobatan, akan menunjukkan tanda-tanda AIDS dalam waktu 8-10 tahun. AIDS diidentifikasi berdasarkan beberapa infeksi tertentu yang dikelompokkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
HIV-AIDS merupakan masalah global, menurut UNAIDS report on the global aids epidemic 2012, pada tahun 2011 di wilayah asia tenggara terdapat 4 juta orang dewasa dan anak yang hidup dengan menderita HIV serta 280 ribu orang dewasa dan anak dengan kasus baru terinfeksi HIV. Indonesia merupakan salah satu negara dengan kasus HIV-AIDS yang meningkat selama kurun waktu 2001-2011.  
Jumlah kasus AIDS tertinggi menurut pekerjaan selamperiode januari-juni 2012 sebanyak 276 kasus adalah ibu rumah tangga. Jumlah perempuan HIV positif yang hamil pun turut meningkat. Berdasarkan proporsi kasus AIDS menurut faktor resiko, penularan dari ibu ke anak menempati urutan terbesar ketiga (4,2%) setelah heteroseksual dan penggunaan jarum suntik (penasun). 
Penularan HIV dari ibu hamil ke bayi melalui proses persalinan mepunyai resiko paling besar (10-20%). Sejumlah faktor mempengaruhi terjadinya resiko infeksi. Selama persalinan, bayi dapat tertular darah atau cairan pervagina yang mengandung HIV. Ditemukan virus pada cairan vagina 21%, cairan aspirasi lambung pada bayi yang dilahirkan. Besarnya paparan pada jalan lahir sangat dipengaruhi dengan adanya kadar HIV pada cairan vagina ibu, infeksi cairan ketuban, ketuban pecah dini, persalinan prematur, penggunaan elektrode pada kepala janin, penggunaan vakum/forsep, episiotomi dan rendahnya kadar CD4 pada ibu. Penularan terjadi melalui transfusi fetomaternal atau kontak antara kulit atau membrane mukosa bayi dengan darah atau sekresi maternal saat melahirkan. Semakin lama proses melahirkan, semakin besar resiko penularan. Transmisi lain terjadi selama periode postpartum (setelah melahirkan) yaitu melalui Air Susu Ibu (ASI). Resiko bayi tertular melalui ASI dari ibu yang positif HIV sebesar 10-15%. Namun demikian, jika sang ibu memiliki akses terhadap therapi anti retroviral dan melahirkan dengan bedah caesar, tingkat penularan dapat ditekan hingga hanya sebesar 1%.
Mengingat tingginya resiko penularan HIV AIDS dari ibu ke bayi, diperlukan partisipasi dini guna mengurangi kejadian tersebut. Pemerintah telah merumuskan kebijakan mengenai program pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak. Secara garis besar tujuan program PPIA adalah mengurangi infeksi HIV pada bayi dan sifilis congenital, mengurangi angka kematian ibu dan bayi dan mewujudkan MDGs goal 4, 5 dan 6 (MDG 4: menurunkan angka kematian ibu dan anak, MDG 5 : menurunkan angka kematian ibu melahirkan, MDG 6 : mengendalikan dan mulai menurunkan jumlah infeksi baru HIV) . 
Program PPIA dirumuskan dalam 6 kebijakan, yaitu :

1. Intergrasi PPIA dalam pelayanan KIA melalui :
a. Memberikan informasi PPIA pada semua perempuan yang datang ke pelayanan kesehatanan ibu,KB dan konseling  remaja
b. Di daerah epidemi meluas, petugas wajib menawarkan test HIV dan Sifilis kepada semua ibu hamil secara inklusif dengan pemeriksaan rutin lainnya pada kunjungan antenatal sampai persalinan
c. Di daerah epidemi terkonsentrasi dan rendah. Petugas wajib menawarkan test HIV dan Sifilis secara inklusif dengan pemeriksaan rutin lainnya pada ibu hamil dan atau pasangannya yang berprilaku  berresiko, yang mempunyai keluhan atau gejala IMS dan dengan gejala oportunistik pada kunjungan neonatal sampai  persalinan
d. Melakukan kordinasi LP/LS termasuk LSM terkait pelayanan PPIA dalam pelaksanaan 4 Prong
e. Melakukan monitoring dan evaluasi secara berjenjang

2.Kegiatan dilaksanakan secara komprehensif
  a.Mecegah terjadinya penularan HIV pada perempuan usia reproduksi. Melalui prinsip  ABCD (Absen seks, Bersikap saling setia, Cegah dengan kondom,Dilarang  menggunakan Napza).
  b.Mencegah kehamilan tidak direncanakan pada ibu dengan HIV. 
   Perempuan dengan ODHA tidak dianjurkan untuk hamil lagi, dapat menggunakan  kontrasepsi pilihan sesuai
   dengan kebutuhan.
c.Mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu hamil HIV ke bayi yang dikandungan.
  Merupakan inti dari PPIA, intervensi berupa : 
  -Pelayanan antenatal terpadu (layanan tes dan konseling HIV, pemberian terapi anti   retroviral, pencegahan, diagnosis dan tata laksana infeksi menular seksual, malaria   dan tuberkulosa)
  -Persalinan yang aman
  -Pelayanan nifas serta tata laksana pemberian makanan terbaik bagi bayi dan anak
  d.Memberikan dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu dengan HIV  beserta bayi dan keluarganya
   -Dukungan lanjutan bagi ibu :
    Pemeriksaan kondisi kesehatan (CD4 & viral load), pemantauan terapi ARV,  konseling dan dukungan kontrasepsi
    serta pengaturan kehamilan
   -Dukungan pada bayi :
    Pemberian kotrimoksazol dan ARV pencegahan , informasi dan edukasi pemberian  makanan bayi,diagnosis HIV pada bayi, penyuluhan kepada anggota keluarga tentang  cara penularan HIV dan pencegahannya

3.Konseling dan Tes HIV
  Tes dan konseling dalam PPIA yaitu :
  a.Tes dan konseling atas inisiatif petugas kesehatan (TKIP)
  b.Konseling ARV
  c.Konseling kehamilan dan persalinan
  d.Konsesling pemberian makanan bayi
  e.Konseling psikologis dan sosial

4.Terapi anti Retrovirus  (ARV)
  a.Bertujuan untuk menurunkan kadar HIV serendah mungkin sehingga mengurangi  resiko penularan
  b.Merujuk pada Pedoman Tatalaksana dan Terapi ARV Pada Orang Dewasa, 2011
  c.Diberikan kepada semua perempuan HIV positif yang hamil, tanpa harus  memeriksakan ART dilanjutkan seumur hidup

5.Persalinan yang aman
  Pertolongan persalinan mengikuti kewaspadaan universal

6.Pemberian makanan bayi
  a.Manajemen laksatasi yang baik untuk mencegah lecet dan radang payudara 
  b.Bila puting sedang lecet/luka, ASI tsidak diberikan melalui puting lecet
  c.ASI ekskludif diberikan 6 bulan, atau dihentikan sesegera mungkin bila syarat  AFASS terpenuhi(sangat tidak dianjurkan memberikan makanan campuran  ASI+Formula)
  d.Syarat WHO untuk susu formula :
    AFASS (Acceptabel : dapat diterima, Feasible : mudah dilakukan, Affordable : harga  terjangkau,
    Sustainable : berkesinambungan, Safe : Aman)
    
Penularan HIV pada ibu dan selanjutnya pada bayinya akan meningkat seiring dengan trend peningkatan jumlah kasus HIV AIDS 10 tahun terakhir. Peningkatan pengetahuan, keterampilan tentang HIV secara komprehensif pada usia reproduktif (15-24 tahun) perlu giat disuarakan untuk mencegah penularan pada usia reproduktif. Hal ini merupakan tanggung jawab bersama guna menyelamatkan generasi yang akan datang.

IBU HAMIL KEK

IBU HAMIL DENGAN KEK (KEKURANGAN ENERGI KRONIS)
A. LATAR BELAKANG     
KEK adalah penyebabnya dari ketidak seimbangan antara asupan untuk pemenuhan kebutuhan dan pengeluaran energi (Departemen Gizi dan Kesmas FKMUI, 2007).
Istilah KEK atau kurang energi kronik merupakan istilah lain dari Kurang Energi Protein (KEP) yang diperuntukkan untuk wanita yang kurus dan lemak akibat kurang energi yang kronis. Definisi ini diperkenalkan oleh World Health Organization (WHO).
Kekurangan Energi Kronis (KEK) adalah keadaan dimana remaja putri/wanita mengalami kekurangan gizi (kalori dan protein) yang berlangsung lama atau menahun.Risiko Kekurangan Energi Kronis (KEK) adalah keadaan dimana remaja putri/wanita mempunyai kecenderungan menderita KEK. Seseorang dikatakan menderita risiko KEK bilamana LILA <23,5 cm. 
B. DEFINISI KEK
Menurut Depkes RI (2002) dalam Program Perbaikan Gizi Makro menyatakan bahwa Kurang Energi Kronis merupakan keadaan dimana ibu penderita kekurangan makanan yang berlangsung menahun (kronis) yang mengakibatkan timbulnya gangguan kesehatan pada ibu. KEK dapat terjadi pada wanita usia subur (WUS) dan pada ibu hamil (bumil).  KEK adalah penyebabnya dari ketidak seimbangan antara asupan untuk pemenuhan kebutuhan dan pengeluaran energi (Departemen Gizi dan Kesmas FKMUI, 2007).
  Istilah KEK atau kurang energi kronik merupakan istilah lain dari Kurang Energi Protein (KEP) yang diperuntukkan untuk wanita yang kurus dan lemak akibat kurang energi yang kronis. Definisi ini diperkenalkan oleh World Health Organization (WHO).
  Kekurangan Energi Kronis (KEK) adalah keadaan dimana remaja putri/wanita mengalami kekurangan gizi (kalori dan protein) yang berlangsung lama atau menahun.Risiko Kekurangan Energi Kronis (KEK) adalah keadaan dimana remaja putri/wanita mempunyai kecenderungan menderita KEK. Seseorang dikatakan menderita risiko KEK bilamana LILA <23,5 cm.
C. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi KEK
1.  Faktor Sosial Ekonomi
Faktor sosial ekonomi ini terdiri dari:
a) Pendapatan Keluarga
Tingkat pendapatan dapat menentukan pola makanan. Orang dengan tingkat ekonomi rendah biasanya akan membelanjakan sebagian besar pendapatan untuk makan, sedangkan dengan tingkat ekonomi tinggi akan berkurang belanja untuk makanan. Pendapatan merupakan faktor yang paling menentukan kualitas dan kuantitas hidangan. Semakin banyak mempunyai uang berarti semakin baik makanan yang diperoleh, dengan kata lain semakin tinggi penghasilan, semakin besar pula persentase dari penghasilan tersebut untuk membeli buah, sayuran dan beberapa jenis makanan lainnya
b) Pendidikan Ibu
Latar belakang pendidikan seseorang merupakan salah satu unsur penting yang dapat mempengaruhi keadaan gizinya karena dengan tingkat pendidikan tinggi diharapkan pengetahuan / informasi tentang gizi yang dimiliki menjadi lebih baik
c) Faktor pola konsumsi
Pola makanan masyarakat Indonesia pada umumnya mengandung sumber besi heme (hewani) yang rendah dan tinggi sumber besi non heme (nabati), menu makanan juga banyak mengandung serat dan fitat yang merupakan faktor penghambat penyerapan besi (Departemen Gizi dan Kesmas FKMUI, 2007).
d)  Factor perilaku
 Kebiasaan dan pandangan wanita terhadap makanan, pada umumnya wanita lebih memberikan perhatian khusus pada kepala keluarga dan anak-anaknya. Ibu hamil harus mengkonsumsi kalori paling sedikit 3000 kalori / hari Jika ibu tidak punya kebiasaan buruk seperti merokok, pecandu dsb, maka status gizi bayi yang kelak dilahirkannya juga baik dan sebaliknya (Arisman, 2007).
2. Faktor Biologis
Faktor biologis ini diantaranya terdiri dari :
a) Usia Ibu Hamil
Melahirkan anak pada usia ibu yang muda atau terlalu tua mengakibatkan kualitas janin/anak yang rendah dan juga akan merugikan kesehatan ibu (Baliwati, 2004: 3). Karena pada ibu yang terlalu muda (kurang dari 20 tahun) dapat terjadi kompetisi makanan antara janin dan ibunya sendiri yang masih dalam masa pertumbuhan dan adanya perubahan hormonal yang terjadi selama kehamilan (Soetjiningsih, 1995: 96). Sehingga usia yang paling baik adalah lebih dari 20 tahun dan kurang dari 35 tahun, sehingga diharapkan status gizi ibu hamil akan lebih baik
b) Jarak kehamilan
   Ibu dikatakan terlalu sering melahirkan bila jaraknya kurang dari 2 tahun. Penelitian menunjukkan bahwa apabila keluarga dapat mengatur jarak antara kelahiran anaknya lebih dari 2 tahun maka anak akan memiliki probabilitas hidup lebih tinggi dan kondisi anaknya lebih sehat dibanding anak dengan jarak kelahiran dibawah 2 tahun. (Aguswilopo, 2004 : 5). 
   Jarak melahirkan yang terlalu dekat akan menyebabkan kualitas janin/anak yang rendah dan juga akan merugikan kesehatan ibu. Ibu tidak memperoleh kesempatan untuk memperbaiki tubuhnya sendiri (ibu memerlukan energi yang cukup untuk memulihkan keadaan setelah melahirkan anaknya). Dengan mengandung kembali maka akan menimbulkan masalah gizi ibu dan janin/bayi berikut yang dikandung. (Baliwati, 2004 : 3).
  
 c) Berat badan saat hamil
Berat badan yang lebih ataupun kurang dari pada berat badan rata-rata untuk umur tertentu merupakan faktor untuk menentukan jumlah zat makanan yang harus diberikan agar kehamilannya berjalan dengan lancar. Di Negara maju pertambahan berat badan selama hamil.sekitar 12-14 kg. Jika ibu kekurangan gizi pertambahannya hanya 7-8 kg dengan akibat akan melahirkan bayi dengan berat lahir rendah ( Erna, dkk, 2004 ).
Pertambahan berat badan selama  hamil sekitar 10 – 12 kg, dimana pada trimester I pertambahan kurang dari 1 kg, trimester II sekitar 3 kg, dan trimester III sekitar 6 kg. Pertambahan berat badan ini juga sekaligus bertujuan memantau pertumbuhan janin.

D. TANDA DAN GEJALA KEK
Ibu KEK adalah ibu yang ukuran LILAnya < 23,5 cm dan dengan salah satu atau beberapa criteria sebagai berikut :
a. Berat badan ibu sebelum hamil < 42 kg
b. Tinggi badan ibu < 145 cm
c. Berat badan ibu pada kehamilan trimester III < 45 kg
d. Indeks masa tubuh ( IMT ) sebelum hamil < 17, 00
e. Ibu menderita anemia (Hb < 11 gr %)

E. PATOGENESA
  Kurang energy pada ibu hamil akan terjadi jika kebutuhan tubuh akan energy tidak tercukupi oleh diet. Ibu hamil membutuhkan energi yang lebih besar dari kebutuhan energy individu normal.Hal ini dikarenakan pada saat hamil ibu, ibu tidak hanya memenuhi kebutuhan energy untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk janin yang dikandungnya. Oleh sebab itu jika pemenuhan kebutuhan energy pada ibu hamil kurang dari normal, maka hal itu tidak hanya akan membahayakan ibu, tetapi juga janin yang ada di dalam kandungan ibu.
  Dalam keadaan kekurangan makanan, tubuh selalu berusaha untuk mempertahankan hidup dengan memenuhi kebutuhan pokok atau energy.Kemampuan tubuh untuk mempergunakan karbohidrat, protein maupun lemak merupakan hal yang sangat penting dalam usaha untuk mempertahankan kehidupan.
Karbohidrat (glukosa) dapat dipakai oleh seluruh jaringan tubuh sebagai bahan bakar, sayangnya kemampuan tubuh untuk menyimpan karbohidrat sangat sedikit, sehingga setelah 25 jam sudah dapat terjadi kekurangan. Sehingga jika keadaan ini berlanjut terus menerus, maka tubuh akan menggunakan cadangan lemak dan protein amino yang digunakan untuk diubah menjadi karbohidrat.  Jika keadaan ini terus berlanjut maka tubuh akan mengalami kekurangan zat gizi terutama energi yang akan berakibat buruk pada ibu hamil.

E. UPAYA PENANGGULANGAN KEK
a. KIE mengenai KEK dan faktor yang mempengaruhinya serta bagaimana menanggulanginya.
b. PMT Bumil diharapkan agar diberikan kepada semua ibu hamil yang ada.                      Kondisi KEK pada ibu hamil harus segera di tindak lanjuti sebelum usia kehamilan mencapai 16 minggu. Pemberian makanan tambahan yang Tinggi Kalori dan Tinggi Protein dan dipadukan dengan penerapan Porsi Kecil tapi Sering, pada faktanya memang berhasil menekan angka kejadian BBLR di Indonesia.Penambahan 200 – 450 Kalori dan 12 – 20 gram protein dari kebutuhan ibu adalah angka yang mencukupi untuk memenuhi kebutuhan gizi janin.
c.   Konsumsi tablet Fe selama hamil
  Kebutuhan bumil terhadap energi, vitamin maupun mineral meningkat sesuai dengan perubahan fisiologis ibu terutama pada akhir trimester kedua dimana terjadi proses hemodelusi yang menyebabkan terjadinya peningkatan volume darah dan mempengaruhi konsentrasi hemoglobin darah.
Pada keadaan normal hal tersebut dapat diatasi dengan pemberian tablet besi, akan tetapi pada keadaan gizi kurang bukan saja membutuhkan suplemen energi juga membutuhkan suplemen vitamin dan zat besi. Keperluan yang meningkat pada masa kehamilan, rendahnya asupan protein hewani serta tingginya konsumsi serat / kandungan fitat dari tumbuh-tumbuhan serta protein nabati merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya anemia besi.
E. ANJURAN DIET
Masalah KEK pada ibu hamil dapat ditanggulangi dengan berbagai macam cara, yaitu sebaga iberikut: 
1)  Pemantauan status gizi dan kesehatan melalui pemeriksaan di Posyandu atau  Polindes dengan menggunakan KMS ibu hamil dan pita LILA
2) PMT bagi ibu hamil (pemberian makanan tambahan kudapan atau makanan biasa dengan komposisi energi 600-700 kkal dan protein 15-20 gram selama 90 hari makan) sasaran keluarga miskin program JPS-BK untuk mengatasi masalah KEK.
3) Suplementasi tablet besi-folat, (kadar besi 60 mg, asamfolat 250 ug),   dikonsumsi minimal 90 tablet selama kehamilan (Dr. Suparyanto, M.Kes. 2011). 
Selain program-program di atas, masalah KEK pada ibu hamil dapat dibantu dengan cara  pengaturan diet yang benar pada penderita. KEK Seorang ibu hamil memerlukan tambahan energy untuk pertumbuhan janin, plasenta dan jaringan-jaringan lainnya sebesar 300 kkal per hari. Tambahan energy ibu hamil diperoleh dari karbohidrat.Selain tambahan energy ibu hamil juga dianjurkan untuk mengkonsumsi makanan yang mengandung protein.Tambahan protein yang dibutuhkanpada trimester pertama, kedua dan ketiga sebesar 17 gram per hari (HardinsyahdanTambunan 2004).
Timbulnya KEK pada ibu hamil disebabkan oleh rendahnya konsumsi energy dan protein serta zat gizilainnya selama kehamil.Oleh karena itu, jenis diet yang tepat untuk ibu hamil penderita KEK adalah Diet Energi Tinggi Protein Tinggi.Diet Energi Tinggi Protein Tinggi (ETPT) merupakan diet yang mengandung energy dan protein di atas kebutuhan individu normal.Diet ini biasa diberikan pada pasien yang mengalami kekurangan energyi dan protein contohnya KEK pada ibu hamil.
Tujuan pemberian diet ETPT adalah untuk memenuhi kebutuhan energy dan protein yang meningkat untuk mencegah dan mengurangi kerusakan jaringan tubuh dan juga menambah berat badan hinga mencapai berat badan normal. Bahan makanan yang dianjurkan dalam pemberian diet ETPT ini adalah semua bahan makanan sumber karbohidrat, meningkatkan konsumsi protein baik hewani maupun nabati, sert ameningkatkan asupan sayuran  dan buahan.